Intervensi Portugis–Malaka di Tengah Kehancuran Cerita
Belah bibir masing-masing meneriakkan bungkam di antara udara yang pecah berkeping, menjadikan potongan roti yang sama sekali belum tersentuh ingin kembali ke tungku pemanas demi berdiam diri, menyerahkan konversasi tanpa maksud mengintervensi. Canggung bergerak, menggelayuti punggung-punggung yang kosong tanpa hadir rengkuh yang biasa mereka nikmati berdua, melayang di antara aroma margarin yang harumnya menabrak udara. Melayang-layang tak ubahnya hampar kesia-siaan yang mengerang di tengah medan perang.
Dua pasang mata itu saling tertunduk ke arah meja, seakan mencari jawab yang bisa membuat lawan bicara menyetujui ingin yang diajukan angan: yang satu pisah, yang satu jangan terpecah. Berbeda arah.
Ada keadaan di mana keduanya saling diam usai bertengkar hebat semalam. Pelupuk yang sama-sama sembab, hidung yang ujungnya sama digurat nada soga, juga serak-serak yang mereka seruakkan di antara bungkam yang kian menikam jadi saksi yang tidak bisa bergerak ke sana kemari sambil menari di atas gelas yang dikerubungi embun meski pagi menyinari distansi pun belum.
“Aku seharusnya latihan sekarang,” riak merusak bungkam yang menikam. Suaranya sengaja ditekan supaya tidak memberi kesan mengancam. Arash, tidak terbiasa melakukan hal yang demikian. Suaranya hampir terpecah di antara celah kursi yang sore itu dibalut sepi. Matanya tetap menatap piring porselen yang bergeming, tetap dikerubungi dingin dari kipas angin yang terpajang di setiap sudut kedai.
Usai mengembuskan napas dengan kasar, Diana mengimbali pretensi. “Aku nggak nyuruh Mas untuk ke sini.” Suaranya terdengar bergetar. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, seakan sengaja supaya nestapa yang tertahan di dalam dada tidak meluap begitu saja. Sayang. Sebab rasa sakit itu bisa dijadikannya prasasti kegigihan melalui tiap-tiap duri seorang diri. Setidaknya, prasasti itu bisa dijadikannya sebagai alasan bertahan di atas kepingan hidup yang sudah terberai.
Keduanya kembali melempar bungkam. Biar ia menari di sekujur meja yang terlampau lapang karena dua pasang tangan ayal bersentuhan. Seperti tak sudi, seperti sakit hati lebih jauh tinggi dari pada jelajah jemari yang bisa mencairkan suasana hati. Seperti sejak mereka salah mengartikan ucapan masing-masing diri.
Dari siang, dari kedai ramai hingga diselingi sepi sebelum kembali meriah lagi — keduanya sudah duduk berhadapan di sini meski tanpa konversasi. Mereka sedang meromantisisasi rasa sakit yang didera masing-masing dada, mempersilakan lara menginjak-injak katup jantung mereka hingga sakitnya tidak bersisa.
Baik bila hal demikian bisa terlaksanakan. Namun, nyatanya tidak. Sakit tetap berjinjit, menertawai keduanya yang terlampau naif karena ngotot tidak mau mendengarkan satu yang lainnya; padahal sepahan itu kemudian akan mengendap di palung relung, mencederai katup jantung hingga aliran darahnya tak mampu dibendung. Lukanya membusuk dan menikam rusuk. Bangkainya berupa lubang besar yang tidak mampu digantikan oleh siapa pun.
Tiap-tiap dada menyimpan kepingan nama, menjadikan himpunan aksara itu sebagai mantra untuk mengusir rasa tak mau percaya dengan perkara yang sedang terjadi di tengah-tengah berdua.
“Kita masih bisa, Di. Kita masih bisa nyoba,” ucap Arash dengan desibel yang terlampau rendah, hingga Diana tidak bisa mendengar dengan pasti. Hal demikian menjadikan Arash mengulangi kalimatnya beberapa kali. Gamang, mendesir bersama sinar lampu yang kian meremang ditelan energi listrik yang bergerak menuju penghabisan.
Menggeleng lemah seperti gerak pasrah, Diana, dengan suara yang tidak kalah lirih, berucap dengan serak, “Aku udah nggak bisa.”
“Kenapa?”
Yang ditanya hanya menggeleng, tertunduk lemah tanpa bisa memberi jawab lebih lanjut dalam bentuk apa-apa.
Distansi yang terpajang beberapa senti bukan jaminan bahwa mereka bisa berunding tanpa emosi. Hati keduanya, dengan ego masing-masing, menjadikan jarak itu terlampau jauh untuk saling merengkuh. Arash yang butuh penjelasan dan Diana yang butuh legitimitas bahwa ia pantas. Tidak ada titik temu antara keduanya. Sebab tergesa-gesa mereka ingin menyelesaikan kesemua prahara dalam sekali uji coba. Segala yang tersimpan porak poranda di dalam hati masing-masing, menjadikan mereka setengah asing. Saling berhadapan, namun enggan juga sedang mapan.
Padahal semuanya mesti dinikmati. Satu per satu, asal terjawab dan menghilangkan manipulasi rasa yang palsu. Proses merupakan bagian dari mencintai, sebuah perjalanan panjang yang wajib ditempuh agar pupuh tercipta hingga bersimpuh. Hingga keduanya bisa mengecupi bahagia; betapa mereka sudah tumbuh dan berkembang daripada kala pertama jumpa.
“Di, aku bukan Gio… Aku Arash…”
Ada beberapa hal yang sama-sama rapat disimpan hingga merupa sebuah endapan yang pekat di setiap sekat yang jaraknya terlampau dekat. Keduanya tidak sudi membagi, sebab dengan memikirkannya saja sudah cukup menyakiti hati. Tentang Leiah, tentang Gio, dan tentang ayah masing-masing — dengan dalih tidak terlalu penting.
Padahal tidak. Tidak demikian.
Kenapa? Kenapa orang-orang itu mesti dibawa ke tengah-tengah meja mereka ketika Diana sedang berupaya lupa bahwa pernah disia-siakan dan gagal mempertahankan? Keberanian macam apa yang merasuki kakak tingkatnya? Diana, dengan segenap emosi yang ia punya, mendesis, menahan gerak tangan supaya tidak menggebrak meja dengan serampangan.
“Semua orang punya potholes di hati mereka, Di. Kamu tentang Gio, aku tentang Leiah. Dan kita, tentang ayah. Kita punya lubang itu. Bahkan Damas, bahkan Jason. Semuanya punya,” usahanya memecah sunyi terdistraksi gerak bola mata Diana yang mengerling jauh, menerawang ke luar jendela, memandangi ramai jalan Taman Siswa yang padat akan manusia.
Sebentar sosok Arash menanti jawaban. Sepasang matanya turut menapak terawang yang jauh terbentang di depan jalan. Ia mengikuti gerak bola mata cokelat milik gadis yang bergerak seakan ingin memecah aspal yang terbujur sepanjang adimarga meski tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada jawab dari perdebatan mereka yang muncul di tengah jalan raya.
“Mas tau apa yang ngebuat Belanda gagal memperbaiki segala hal setelah pecah Perang Dunia II?” tanya Diana di tengah intervensi, lebih terdengar seperti cola-cala yang melayang di antara udara karena tidak lagi ada pembahasan yang lebih penting untuk diajukan di tengah meja.
Arash menggeleng. Setengah sabar, menahan geram, tatapnya melemas dibedah panas. “Diana, aku nggak perduli sama gagalnya Belanda. Aku bahkan nggak perduli kalau Jerman menang di Perang Dunia II. Aku cuma nggak mau kita tiba-tiba berakhir kaya gini padahal kita jelas-jelas masih bisa diperbaiki.”
Kalimat itu Diana tahu betul merujuk pada kisah mereka yang mesti berpecah setelah gagal dalam satu kali uji. Namun, gadis dengan suai panjang itu terlampau takut untuk gagal lagi. Tidak ada jaminan juga bahwa Arash akan tetap tinggal selamanya. Tidak ada. Dan tidak akan pernah ada jaminan serupa darinya.
“Karena Belanda nggak lebih pinter dari Inggris yang langsung mundur waktu kerjasama sukarela sama elite politik lokal mereka nggak berhasil. Bedanya sama Inggris, Inggris cukup dewasa buat mundur dari India, Burma, dan Malaysia. Prancis juga mundur dari Dien Bien Phu dan Aljazair, bahkan Amerika atau Rusia. Mereka semua mundur karena mereka tau kalau usaha yang mereka lakukan itu udah cukup. Kaya kamu, Mas. Usahamu udah cukup.”
Manik jelaga milik Arash kembali bercerita, sebuah cerita redup yang menyekat bahagia. Ia bersedih, tidak pernah mengira bahwa perasaan hebat yang pernah ia punya bisa terasa sebegini sakitnya. Yang dikiranya obat malah jadi sumber sakit yang paling hebat.
Bagi si lelaki, kalimat itu terlampau enteng untuk dijadikan suara yang mengoyak seperti belati. Daripada merasa cukup dengan usaha yang butuh banyak pengorbanan, bukankah lebih baik jika melanjutkan? Lagipula, ia juga belum tahu letak salahnya di mana. Sebuah posisi yang sebetulnya bisa ia perbaiki demi sedikit menyeduh sedih yang didera oleh Diana. Namun, bisa apa ia? Sosok pujaan hatinya bahkan tidak sudi untuk memberi tahu letak salah yang membuatnya melucutkan kata pisah.
Dikaisnya lagi sepasang kecubung milik Diana, meneliti seluruh sudut matanya kalau saja masih ada secercah harap yang terselip di antara cerah mata yang ia punya. Namun nihil. Nihil dan muskil. Gadis itu bahkan membuang mukanya lagi ke arah jendela, mendiamkan potongan roti yang sebetulnya sangat ia suka.
“Diana,” desah Arash, mencoba meraih kedua tangan milik seseorang yang duduk diam di hadapannya. Tangan itu tampak asing meski beberapa waktu yang lalu terasa sangat nyaman mendengkur dalam genggamnya. Tangan itu lebih dingin dari biasanya, seperti milik orang lain saja. Dan ia tidak percaya bahwa lembaran daging berkulit itu adalah lembar tangan yang biasa ia usap punggungnya mankala dunia sang pemilik sedang tidak baik-baik saja.
Tidak ada imbalan yang diterimanya atas panggilan, menjadikan Arash ikut bingung. Hatinya berdebam, meninggalkan lebam yang membetam di sekujur jantung yang suram. Lebih mencekam dari gelapnya jurang. “Aku mungkin emang nggak sepinter Inggris, Prancis, Amerika, bahkan Rusia. Tapi katakanlah aku ini Portugis yang walaupun diserang berkali-kali, aku tetep milih untuk mempertahankan Malaka. Banyak banget yang nyerang Malaka, mau ngerebut Malaka. Tapi Portugis cukup keras kepala buat mempertahankan Malaka. Aku mau jadi Portugis itu, Di* Demi Malaka dan seisinya. Demi kamu. Demi kita berdua.”
Ah, biarlah bercola-cala ia mengenai sebuah keadaan hampir serupa yang pernah ia pelajari di ruang kelas sewaktu SMA. Meski tak sepenuhnya mengerti, Arash tetap memilih untuk mencoba membalikkan pretensi. Sebuah pretensi yang terlampau ngawur bagi Diana yang paham akan konteks cerita yang baru saja melengang dari molekul udara.
“Apanya? Waktu itu Portugis bahkan nggak bisa mempertahankan kekuatan internal mereka sendiri. Teknologi militer dan navigasi mereka nggak berarti apa-apa. Mereka itu cuma jadi inti konflik yang terjadi di Malaka. Mereka cuma memperparah keadaan di daerah jajahan. Mereka bahkan nggak bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri, kekurangan dana dan sumber daya manusia, dan organisasi mereka diorganisir sama pemimpin yang perintahnya simpang-siur, nggak efisien, bahkan korupsi. Pejabatnya juga malah berdagang demi keuntungan pribadi. Mereka melakukan pengkhianatan visi misi mereka sendiri buat monopoli. Itu bukan cinta, Mas. Itu serakah.”
Ada diam yang turut menggerayang, menjadikan air di sekujur mata sosok yang lebih tua hebat menggenang.
“Portugis itu cuma bikin kacau organisasi sistem perdagangan Asia. Gara-gara Portugis menduduki Malaka, nggak ada lagi pelabuhan pusat tempat harta Asia bisa ditukerin, nggak ada lagi negara Malaya yang ngejaga ketertiban Selat Malaka dan ngebuat tempat itu aman sebagai lalu lintas perdagangan. Mereka cuma berjaya selama satu abad. Habis itu, Malaka cuma jadi satu nama yang masa lalunya gemilang, tapi masa depannya nggak berarti apa-apa.”
Hati milik sosok yang aktif mendengar terasa pengar. Jarum-jarum seperti baru saja menikam dadanya dengan sengaja. Semua yang telah tertata di dalam kepala jadi porak-poranda hingga tidak berbentuk apa-apa. Kecewa menunggangi puncak hatinya. Beginikah akhirnya?
Keduanya masih memiliki beberapa bekas pecahan kaca yang belum mengering lukanya. Dan alih-alih mencoba obat lain, mereka memilih untuk bergerak menuruti apa yang hati ingin. Kadang serampangan, dan kali yang lain tanpa pertimbangan yang matang.
Terjebak dengan seseorang yang belum rampung dengan masalah mereka dengan diri sendiri bukan prahara yang mudah bagi Arash untuk perbaiki. Sebab, bagaimana pun juga, jatuhnya sudah terlampau dalam, hingga tidak ada lagi cahaya yang terlihat dari matanya. Palung itu lebih dalam dari relung, lebih gelap dari hutan tempat tinggal gerombolan alap-alap.
“Mau gimana lagi? Aku nggak bisa cinta sama Mas. Bener-bener nggak bisa.”
Sebaris kalimat itu berhasil menyambar jantungnya, mendobrak segala yang sedang tertahan di ujung dada. Hatinya tergerus, belati tumpul hebat menghunus. Bukan persoalan mana yang menjadikannya mati lebih cepat, namun tentang lara yang lebih hebat ditinggalkan di sekujur dadanya yang sengaja ia buat menganga.
Rongga itu sengaja dibuatnya supaya Diana bisa masuk dengan kelapangan udara yang mengiringinya. Namun sayang, segala yang ia upayakan malah berbalik menyerang. Nyawanya meremang, seirama dengan air mata yang luruh perlahan. Ia menangis di depan Diana. Ah, tidak. Bukan menangis. Air matanya menetes tanpa hadirnya kalimat protes. Itu saja.
“Kamu boleh jalan yang jauh, Di. Aku juga bakalan jalan yang jauh. Tapi, kalau kamu udah siap nerima orang asing lagi, tolong kasih tau aku. Aku mau nyoba. Kali kedua. Ya?” pinta Arash setelah mengesampingkan kalimat yang bisa menyulut perang.
Yang diberi pinta mengganjarnya dengan gelengan kepala tanda tidak terima, netranya dipaksa dingin, memandang segala yang hadir seperti asing yang sedang iseng. “Nggak, Mas. Nggak gitu caranya. Kalau udah ya udah.”
Selesai sebelum dimulai jadi salah satu kalimat tragis yang tajam mengiris. Sabar bukan kunci, bukan pula mantra yang dapat membuka gembok hati seseorang yang ketat tersekat.
Dalam hal ini, keduanya, seperti perlawanan antara Portugis dan Aceh demi merebut Malaka; tidak dimenangkan oleh siapa-siapa.